Langsung ke konten utama

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri!
Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam wishlist-nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama. 

Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi. 

Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpikir terlalu rumit. "Memangnya masalah selesai dengan menangis?" itu alibinya. Selain itu, ia pernah mengatakan orang menangis itu wajahnya akan terlihat jelek, dan Dia benci itu.

Tidak hanya tentang kesedihan, Dia tidak paham mengapa orang marah. Sama seperti menangis, ia beranggapan marah hanya mempersulit masalah yang sudah ada. Seringkali ketika orang-orang marah, yang dilakukan dirinya adalah menganalisis. Bagaimana kerutan-kerutan di wajah muncul ketika seseorang sedang marah. Bagaimana proses meningginya suara hingga klimaks dari kemarahan itu yang terkadang ditunjukkan dengan bentakan (bahkan terkadang pukulan). 

Dia hidup dengan pengalaman mendengar segala macam emosi dalam hidupnya. Dari mulai kemarahan, kesedihan, sampai kebahagiaan. Namun, dirinya masih belum paham betul apa yang membuat ia harus menunjukkan emosi-emosi tersebut. Toh, semuanya sama saja.

Salah satu pengalaman yang masih terbenam dalam ingatan Dia adalah ketika dirinya menangis sangat keras. Waktu itu ia masih belum bisa berpikir betapa sia-sianya energi yang dirinya keluarkan hanya untuk menangis. Ayah Ibunya bertengkar hebat. Berlembar-lembar uang senilai seratus ribuan tercecer dimana-mana. Dia hanya bisa menangis sebagai anak kecil yang berharap dirinya tidak berakhir dengan julukan anak “broken home”. Sekarang dirinya hanya bisa menghela napas ketika orang tuanya mengaitkan Dia ke dalam masalah mereka.

Pada saat sedang di sekolah menengah, Dia dirundung. Segerombolan anak gadis selalu mencerca dirinya yang terlihat suram. Tanpa siapa-siapa, tidak pernah berbicara, tapi terkadang sok asik yang tidak asik. Banyak yang dikomentari, mulai dari fisik, nilai, bahkan cara Dia bersikap. Saat itu dirinya sangat muda. Memang sesekali dia melawan, tapi tidak terlalu cukup keberaniannya daripada ketakutannya.

Beruntung, saat di sekolah akhir Dia terlihat bahagia. Dengan teman-teman yang paham akan dirinya, Dia biasa saja, maksudnya tidak bahagia maupun sedih. Itu memang yang diinginkannya, bukan tuntutan agar Dia terlihat senang dan selalu bahagia seperti seorang ekstrover.

Sekarang, Dia perlahan-lahan memudar. Dirinya sudah hampir hilang ditelan oleh segala tuntutan. Dirinya harus terpaksa kembali mengeluarkan emosi. Walaupun sebenarnya jauh di dalam pikirannya ia tidak ingin membuang-buang tenaga. Dia itu siapa? Aku? Kamu? ataukah Dia?

Komentar

Yang disukai

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud