Resensi Buku: Perempuan di Titik Nol oleh Nawal El Saadawi.
Judul: Perempuan di Titik Nol (Emra'a
enda noktat el sifr)
Penulis:
Nawal El Saadawi
Penerjemah:
Amir Sutaarga
Perancang
sampul: Ipong Purnama Sidhi
Penerbit:
Yayasan Pendidikan Obor Indonesia
Tanggal
terbit:
Januari 2003
Cetakan:
Ketujuh
Isi
halaman: 156 halaman
ISBN:
978-461-040-2
Buku ini adalah karya salah satu
penulis asal Mesir yang juga merupakan seorang psikiater. Ia adalah Nawal El
Saadawi. Tidak hanya seorang psikiater, Nawal juga merupakan seorang
aktivis feminis yang membuat sebagian isi dari buku ini menjunjung tentang perempuan.
Buku ini awalnya ditolak oleh penerbitan Mesir. Tidak berhenti di situ, Nawal
akhirnya berhasil menerbitkan buku ini di Lebanon pada 1975, tiga tahun dari
jadwal yang direncanakan. Di Indonesia sendiri, buku ini diterjemahkan dan diterbitkan
pertama kali oleh penerbit Yayasan Pendidikan Obor Indonesia.
Sampul "Perempuan di Titik Nol" dan Nawal El Saadawi. |
-Sinopsis-
Nawal
menceritakan di awal bahwa dia sedang melakukan penelitian terhadap neurosis
pada wanita mesir. Karena penelitian itu, dia bertugas di penjara Qanatir yang
kemudian dia bertemu satu tahanan yang membuat ia tertarik. Firdaus,
begitu ia sebut di buku ini. Firdaus tumbuh di keluarga yang menganut
patriarki. Ibunya sering menyembunyikan makanan diam-diam hanya untuk Ayahnya.
Firdaus juga sering melihat Ibunya mencucikan kaki Ayahnya.
Setelah orang tua Firdaus meninggal,
ia diasuh oleh pamannya. Diceritakan bahwa Firdaus kerap mendapat pelecehan
seksual. Walaupun begitu, tak pernah ia melaporkannya pada siapapun. Ia
menganggap itu adalah sebuah kepuasan yang ia sendiri tidak tahu darimana
asalnya. Pamannya bukanlah yang pertama kali. Saat kecil, ia pernah bermain
permainan peran dengan teman laki-lakinya bernama Muhammadain. Permainan
itu mereka sebut “Pengantin pria dan wanita”. Pamannya menyekolahkan Firdaus di
SMP yang berasrama. Kemudian, ia lulus dengan peringkat kedua. Namun, setelag
lulus Firdaus tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Malah ia
dijodohkan oleh paman dan bibinya dengan seorang lelaki tua.
Awalnya rumah tangga Firdaus
berjalan baik, namun semakin lama sifat lelaki tua yang disebut Syekh
Mahmoud itu tidak berperikemanusiaan. Firdaus dipukuli dan akhirnya dia
melapor perbuatan suaminya kepada pamannya. Tidak disangka, pamannya berkata bahwa
itu adalah sebuah kewajaran. Disambung juga oleh istrinya yang juga menyebutkan
bahwa ia sering dipukul oleh suaminya sendiri.
Tidak tahan, Firdaus pergi dan
bertemu banyak orang yang terlihat baik namun berencana buruk. Seperti Bayoumi,
si pemilik kedai. Ia menampung Firdaus namun sama saja, ia suka memukul dan
memperkosa Firdaus. Kemudian, ia bertemu Sharifa Salah el Dine. Seorang
wanita yang membuat sesuatu di dalam Firdaus sadar bahwa ia bisa menjadi wanita
yang berkuasa. Akhirnya, Firdaus memulai dunia melacurnya.
-Ulasan-
Awalnya,
buku ini tidak langsung menampilkan isi seperti buku kebanyakan. Banyak kata
pengantar dari versi Indonesia dan juga kata pengantar dari penulisnya itu
sendiri, Nawal El Saadawi. Walaupun ini buku terjemahan, namun bahasa yang
digunakan masih tergolong mudah dibaca. Buku ini banyak memasukkan isu-isu
patriarki dimana pada zaman itu memang di Mesir masih kental. Meskipun buku ini
menceritakan banyak hal tentang seks tapi sebagai pembaca fokus saya tidak pada
hal itu. Saya melihat bahwa buku ini menceritakan perjuangan Firdaus sebagai
wanita. Untuk sampulnya sendiri cukup memperlihatkan isi buku, dimana disitu
ada Firdaus di pojokan penjara. Jika harus memberikan rating maka saya
akan memberikan 8,5/10.
-Kelebihan
dan Kekurangan-
Kelebihan
buku ini terdapat dari alur yang benar-benar menceritakan sesuatu secara
mendetail. Sehingga pembaca tidak merasa bingung. Juga, alurnya menurut saya tidak
maju-mundur yang membuat ceritanya seakan runtut. Pendeskripsian para tokoh
juga dijelaskan secara rinci, seperti contohnya pada bisul yang terdapat di dagu
Syekh Mahmoud. Bahasa yang digunakan adalah bahasa terjemahan yang mudah
dimengerti oleh pemula.
Untuk kekurangannya, buku ini menggunakan
sudut pandang pertama dari Firdaus. Mungkin bagi sebagian hal ini bukanlah
masalah. Namun, saya merasa akan lebih baik menggunakan sudut pandang orang
ketiga yang serba tahu.
Komentar
Posting Komentar