Langsung ke konten utama

Pribumi dan Bangsa Asing.

Halo, teman keluh kesahku. Bagaimana kabar kalian? Ini adalah catatan harian pertama setelah aku mengikuti materi "Catatan Harian" oleh salah satu anggota LPM-SM. Mungkin aku akan sedikit mengubah bagaimana cara penyampaian dan apa yang akan aku sampaikan. Biarlah tulisanku berproses.

Tepat setelah mendengar materi yang tidak se-lama malam kemarin, aku melanjutkan menonton film Bumi Manusia. Film fiksi ini mengupas bagaimana kehidupan pribumi-pribumi di zaman kolonial Belanda.

Pada zaman itu, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para pribumi selain menjadi budak dari bangsa kulit putih. Tentu, bangsawan-bangsawan negeri masih memiliki derajatnya sendiri yang dianggap "lebih tinggi" daripada pribumi biasa.

Menjilat bangsawan Eropa sudah dijadikan pada zaman itu sebagai sebuah kebiasaan dan kewajaran. Tidak peduli darah daging sendiri yang dijual untuk memenuhi hasrat akanmkekuasaan dan tahta.

Mereka yang memiliki 2 darah berbeda akan memilih lebih baik menganggap dirinya sebagai bangsawan Eropa walaupun mereka kebanyakan lahir dari hasil jual-beli gundik. Menginjak-injak orang separuh ras dari dirinya adalah hal yang dianggap wajar untuk meningkatkan derajat. Entah di mata pribumi ataupun kulit putih.

Semua sektor hampir dikuasai oleh bangsa asing, sehingga pribumi menjadi seperti budak di negeri sendiri. Hak-hak untuk membela diri di mata pengadilan sudah kandas dan akhirnya sama saja. Ini adalah perkara apakah kamu pribumi atau kulit putih. Bukan lagi masalah apakah kamu benar ataupun salah.

Mari menengok sedikit adegan dimana salah satu putri seorang gundik dengan orang Belanda dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya sendiri karena hak asuh milik Ibunya dirampas dengan alasan konyol. Semua kulit putih itu berkata "Berdasarkan hukum". Hukum apa? Hukum mana yang membuat seorang ibu kehilangan hak asuh atas putrinya sendiri. Terlebih putrinya tidak setuju atas apa yang pengadilan putuskan. Lagi-lagi, ini bukan perkara kamu benar atau salah, ini perkara dimana kamu pribumi atau kulit putih.

Sekarang. Bagaimana dengan sekarang? Jika kita lihat dengan seksama, keadaan di negeri kita ini yang katanya merdeka padahal sama saja. Jika kamu adalah orang yang berasal dari negeri barat, timur, atau mana pun yang bukan dari Indonesia, derajatmu lebih tinggi, itu peraturannya.

Kita masih sering mengagung-agungkan para pendatang dengan alasan mereka lebih kaya atau "tampak" kaya. Akibatnya, orang yang diagungkan tadi benar-benar merasa dirinya lebih di atas tingkat sosialnya. Tak heran kalau banyak dari mereka yang semena-mena seperti zaman dahulu. Bagaimana? Tidak ada perubahan, kan?

Jadi, apakah benar kita sudah merdeka dari penjajahan atau proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu hanya formalitas saja? Sebenarnya malu jika melihat perjuangan para pendahulu. Mereka bersedia menggugurkan nyawa untuk mengangkat derajat pribumi yang terlanjur jatuh kedalam lumpur. Siapa yang menjatuhkan? Pribumi iu sendiri.

Tidak perlu memuja mereka sampai berbusa. Toh, kita sama-sama berasal dari bahan yang sama. Tidak pernah kutemukan manusia terlahir dari langit sampai saat ini. Sebenarnya apa yang membuat mereka menjadi seperti lebih superior dibandingkan kita? Karena ras? Warna kulit? Rupa? Jadi hanya karena cangkang hak kita dirampas, derajat kita direndahkan?

Terlalu banyak pertanyaan di dalam otakku jika harus kutuliskan disini. Aku tidak pernah hidup atau melihat langsung bagaimana di zaman dahulu mereka hidup dalam kekangan penjajah. Yang kutahu melalui Bumi Manusia ini adalah Indonesia tidak ada perubahan. Jangan salahkan jika nanti kejadian dahulu menjadi terulang.

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud