Langsung ke konten utama

Rakyat Kecil "Beraksi"


Halo, teman keluh kesahku. Bagaimana kabar kalian? Hari ini Ibuku bilang akan pergi ke pasar Kamal. Padahal, tidak jauh dari rumah kami terdapat pasar. Walaupun tidak selengkap yang di sana, tapi cukuplah jika hanya untuk masakan sehari-hari. Ibuku sebenarnya jarang pergi ke pasar yang jauh itu (1km, jauh karena ada yang dekat). Beliau ke sana untuk mengambil pesanan tahu bulat di salah satu pedagang. "Titip kedondong." ucapku. Lalu, Ibu bilang tidak benar-benar di pasarnya, melainkan di sekitar pasar.

Penjual tahu itu bernama Bahrul. Dia adalah tempat langganan Ibuku dan ibu-ibu lainnya membeli olahan kedelai itu. Sebelumnya, dia berjualan di dalam pasar seperti pedagang lainnya. Aku pernah ikut Ibu ke pasar Kamal dan memang, stan tahunya lebih besar dan laris dari penjual lainnya yang mungkin hanya menjual satu kotak tahu. Namun, kini sudah tidak seperti dulu. 

Kisah dimulai saat Bahrul mendapatkan pelanggan dan membuat penjual tahu di sekitarnya seakan menjadi kecil. Bukan salah siapapun sebenarnya. Memang, itu adalah rezeki yang sudah diatur untuk Bahrul dan keluarganya. Dikarenakan hal ini, penjual-penjual kecil di sekitarnya menjadi iri dan tidak hanya berhenti disitu. Jika mendengar kata "iri" pasti ada lanjutannya yaitu "dengki". Kedengkian para penjual lainnya dikumpulkan seakan-akan menyergap pengikut PKI.

Hari itu terjadi pertengkaran di antara rakyat kecil. Stan Bahrul diacak-acak, hal yang untung tidak diacak adalah tahunya. Jika tahu itu diacak sungguh betapa besar lagi kejahatan para penjual lainnya karena membuang-buang makanan. Bahrul bertarung melawan banyak penjual hanya menggunakan lidahnya. Ibuku bercerita, ia sempat membeli di stan Bahrul saat pertengkaran itu terjadi. Uang kembalian Ibuku sampai dikembalikan lebih banyak dari biasanya. 

Hanya karena milikmu tidak laku jangan menyalakannya ke orang lain. Instrospeksi diri, lihat. Stan Bahrul banyak macam tahu, sedangkan milikmu hanya satu. Harga yang ditawarkan juga lebih murah miliknya. Yakin jika kamu menjadi pembeli akan membeli yang kecil namun lebih mahal? 

Sebenarnya salah siapa? Apakah salah Bahrul? Salah pengawas pasar? Bukan. Itu salah setan di sampingmu. Membisikkan hal-hal yang tidak benar hingga tumbuh keirian disertai kedengkian. Jika ingin marah, mengapa tidak kau marah kepada Yang Maha Kuasa? Tuhanlah yang mengatur rezeki masing-masing. Mengapa kamu sekalian menyalahkan makhluk-Nya? Tidak masuk akal.

Lagipula, hal yang kamu lakukan malah membuat dagangan Bahrul menjadi lebih laku lagi. Orang-orang tidak perlu masuk ke dalam pasar yang becek dan kotor hanya untuk membeli tahumu. Kalau ada yang dekat mengapa tidak? Pelanggannya juga tidak akan langsung berpindah kepadamu hanya karena dia tidak berjualan di Pasar lagi. Seperti Ibuku tadi.

Aku tidak mengerti hal-hal semacam ini yang biasa aku lihat di sinetron ternyata masih ada di zaman sekarang. Mungkin memang kesalahanku untuk tidak menganalisis apa yang terjadi di sekitar. Oh iya, tulisan ini tidak bermaksud mengajak kalian untuk membeli tahu di Bahrul atau di penjual lainnya. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa hal-hal kecil bisa menjadi besar jika kita menanggapinya dengan salah. 

Lalu, apa solusi yang bisa aku berikan? Menurutku, tidak ada yang bisa dilakukan olehku untuk membantu penjual tahu kecil tadi. Jika aku disuruh memberikan solusi, paling untuk menghargai barang sesuai harga pasaran jika tidak ada istimewanya. Kalau tahumu mengandung emas boleh kamu jual seharga emas. Yah, begitulah pertengkaran rakyat kecil yang pemerintah tidak ketahui. Hanya aku, kamu, dan Tuhan yang tahu.

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud