The
Gods Must be Crazy yang diterbitkan pada tahun 1980 ini sempat kembali
muncul ke permukaan. Tak jarang, akun-akun Instagram mengunggah kisah pilu di
balik produksi film tersebut. Siapa yang tidak tertarik, ketika mendengar fakta
bahwa aktor untuk pemeran utamanya hanya mendapatkan bayaran minim. Di sisi
lain, film ini memang pantas untuk dinikmati dan ditonton kembali oleh
masyarakat masa kini. Pasalnya, masyarakat kita saat ini sedang dilanda banyak kecemasan.
Mulai dari takut miskin, hingga tidak bisa bahagia.
Secara
singkat, film yang memiliki anggaran lima juta dolar Amerika Serikat ini
menceritakan kisah sebuah suku di pedalaman Afrika Selatan, Botswana. Suku
Semak, atau dalam film lebih sering disebut dengan Bushman, hanya
memiliki beberapa personil yang terdiri dari orang dewasa dan anak kecil. Suku ini
tinggal dan menetap di Kalahari, sebuah kawasan yang kering tanpa genangan air.
Di tempat itu, bahkan para binatang memilih untuk berpindah ke kawasan yang lebih
subur.
Hidup di
tempat seperti kering tampaknya bukan merupakan sebuah masalah yang besar bagi Suku
Semak. Bermodalkan insting dan ilmu pengetahuan yang mereka dapat secara
langsung, sumber daya seperti makanan dan air dapat juga ditemukan. Misalnya,
untuk mendapatkan air mereka akan memarut sebuah tumbuhan, kemudian mereka akan
memeras hasil parutannya hingga mengeluarkan tetesan air. Tidak banyak, namun
Suku Semak sangat bersyukur akan hal itu.
Hingga pada
suatu hari, sebuah botol kaca bekas berlabel Coca-cola mulai jatuh dari langit.
Suku Semak yang awam akan hal tersebut mulai menganggap bahwa, apa yang baru
saja mereka dapat merupakan salah satu nikmat dari dewa. Karena selama ini,
Suku Semak tidak pernah mengeluhkan tentang kondisi mereka yang sebenarnya masih
selisih jauh dengan manusia beradab. Sehingga, datangnya benda modern ini juga
mereka anggap sebagai salah satu ‘hadiah’ yang
harus digunakan sebaik-baiknya.
Entah
karena rasa penasarannya yang besar, Suku Semak dapat menggunakan botol kaca
tadi sebagai multifungsi. Dari mulai penumbuk, pencetak motif, hingga sebagai
alat musik tiup. Namun, banyaknya hal baru yang bisa mereka lakukan dengan
botol ini nampaknya membawa hal buruk kepada Suku Semak. Suku yang awalnya tentram
dan sejahtera, alias baik-baik saja tanpa masalah, kini mulai saling berseteru
karena botol yang mereka miliki untuk digunakan hanya ada satu. Hingga pada
akhirnya, Xi (dibaca Ki), memilih untuk mengembalikan botol tersebut kepada ‘dewa’.
Film ini,
seharusnya merupakan sebuah sindiran bagi manusia masa kini yang masih kurang
bersyukur akan hidup yang telah mereka miliki. Orang-orang terlalu sibuk untuk
meningkatkan kualitas mereka sampai melupakan hal yang dasar semacam rasa
cukup. Suku Semak memang selalu merasa cukup dan bersyukur, yang pada dasarnya
merupakan pondasi dari kebahagiaan. Hal tersebut ditunjukkan ketika mereka
menolak untuk menggunakan botol kaca sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Istilahnya, daripada hidup serba bisa sambil memiliki rasa benci, lebih baik
hidup seperti biasa tetapi tetap bahagia.
Sejatinya,
rasa bahagia memang dapat manusia ciptakan sendiri tanpa harus mendapatkannya
dari benda ataupun orang lain. Pasalnya, orang-orang beradab yang ditunjukkan
di awal film agaknya tidak lebih dari sebuah robot yang selalu bekerja tanpa
istirahat. Bayangkan, pukul delapan di pagi hari sudah dipaksa untuk mematuhi
perintah atasan untuk fokus menyelesaikan suatu masalah. Sedangkan, waktu
istirahat hanya diberikan selama 15 menit saja, yang mana sepertinya hanya
cukup untuk membuat kopi pereda stres dikala banyaknya tuntutan. Belum lagi
ketika datang cercaan dan makian saat masalah yang diberikan tidak bisa selesai
sesuai tenggat waktu yang diberikan.
Sekarang
sudah bisa dibayangkan, secara tidak langsung kehidupan Suku Semak merupakan
hidup yang selama ini diidam-idamkan oleh manusia beradab. Suku Semak tidak
perlu mengerjakan tugas untuk orang lain, tidak perlu bekerja seperti mesin,
bahkan istirahatpun ditentukan sesuai keinginan.
Jadi, setelah menonton dan menganalisis kembali film ini, apakah anda sekalian ingin menjadi Suku Semak ataukah tetap menjadi ‘manusia beradab’?
Komentar
Posting Komentar