Pedagang Jabatan dan Media Sama Saja.
Baru-baru ini muncul berita mengenai praktek jual-beli jabatan di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa). Praktek tersebut diduga dilakukan oleh seorang staf khusus yang menawarkan "jualannya" pada orang-orang yang senang dengan sesuatu yang instan.
Tidak bisa dipungkiri, hampir semua orang suka sesuatu yang instan alias tanpa proses. Ibaratnya, yang lain susah payah berjalan menaiki tangga, kita hanya perlu menaiki lift saja untuk sampai ke lantai atas. Namun, setiap perbuatan yang instan hasilnya tidak terlalu baik. Banyak resiko akan kemudahan yang banyak orang gemari ini. Salah-salah bisa dibui hanya karena memakai jalan pintas.
Dan orang yang seharusnya siap dibui jika ia diketahui telah menggunakan jalan pintas itu adalah staf khusus ini. Dia menyediakan sebuah lapak untuk orang-orang agar mau sampai ke jabatan atas secara instan, tanpa proses.
Tidak hanya memperjualbelikan jabatan untuk sekantung cuan, namun oknum yang masih belum diketahui benar-tidaknya ini juga memaksa para pejabat-pejabat untuk meluangkan uangnya sebagai jaminan agar tidak dipindahkan.
Menurut enam petinggi, staf khusus ini mendagangkan jabatan di Kemendesa dengan harga yang bisa dibilang sangat tinggi. Mulai dari ratusan juta sampai miliaran rupiah menjadi harga hanya untuk sebuah jabatan, yang sifatnya fana.
Diketahui bahwa posisi direktur jenderal (Dirjen) atau eselon I sendiri dipatok dari harga sebanyak satu sampai tiga miliar rupiah, sedangkan eselon II atau posisi direktur dipatok sebanyak lima ratus juta sampai satu miliar rupiah. Namun, dikatakan untuk eselon III harga tersebut telah dihapus.
Salah seorang pejabat pernah dipalak oleh utusan dari staf khusus tadi sebanyak lebih dari lima ratus juta rupiah dan harus dibayar secara tunai. Namun, pejabat tersebut menolak dan lebih memilih membayarnya dengan mencicil. Alhasil tak bisa dihindari, pejabat tersebut menghilang dengan kata lain dipindahkan ke posisi lain.
Sedang ketua dari Kemendesa, yakni Abdul Halim Iskandar, mengakui bahwa dirinya telah mengkonfirmasi akan kabar simpang siur yang terjadi di kantornya. Dirinya berpendapat bahwa dia tidak menemukan siapa yang dinamai "staf khusus" tadi. Entah karena kurangnya ketelitian dia dalam memeriksa masalah ini atau betapa cerdasnya tikus kecil (red, staf khusus) ini menghindari Abdul Halim Iskandar.
Sedang dari berita tersebut tidak dijelaskan progres mengenai kebenaran dugaan tadi. Yang terjadi adalah pembaca diwajibkan membaca majalah berbayar dari pihak penerbit untuk mengetahui apakah memang benar terjadi bongkar-pasang posisi oleh seorang staf khusus.
Namun yang menjadi kejanggalan adalah, bagaimana bisa seorang jurnalis bisa lebih mengetahui perihal praktek jual-beli posisi di Kemendesa, sedangkan pimpinannya sendiri yang memiliki hak kuasa penuh tidak bisa mengkonfirmasi mengenai kebenaran masalah ini.
Bahkan, salah seorang pejabat saja mengaku dirinya pernah dimintai bayaran untuk memperoleh keamanan bagi posisinya. Mengapa Abdul Halim berkelit dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menemukan praktek jual beli tersebut? Anggap saja dia kurang teliti. Toh, yang bisa melihat kelanjutannya adalah orang-orang yang memiliki cuan untuk berlangganan majalah.
Media zaman sekarang tidak peduli tentang kebenaran data dari beritanya, mereka hanya ingin uang untuk membuat perusahaannya lebih kaya. Memang, semua orang menginginkan kekayaan, baik staf khusus tadi maupun penerbit berita tersebut. Hal itu tidak salah, yang salah adalah bagaimana mereka mendapatkan kekayaan tadi.
Komentar
Posting Komentar