Langsung ke konten utama

Resensi Buku: Pers di Masa Orde Baru oleh David T. Hill.

Judul : Pers di Masa Orde Baru (The Press in New Order Indonesia

Penulis : David T. Hill

Penerjemah : Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Perancang sampul : Iksaka Banu

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tanggal terbit : Juli 2011

Cetakan : Pertama

Isi halaman : 232 halaman

ISBN : 978-979-461-786-1


    Pers di Masa Orde Baru merupakan sebuah karya terjemahan dari David T. Hill. Buku ini berjudul asli "The Press in New Order Indonesia" dan diterjemahkan oleh Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo. Dengan awalan yang cukup panjang untuk sebuah monograf, pembaca yang belum pernah membaca sejarah mengenai orde baru pasti akan merasa bingung. Pembaca dibuat berputar-putar dengan ingatan-ingatan kelam akan dunia jurnalis itu dari tahun ke tahun. Banyak terbitan-terbitan majalah ataupun koran harian yang dibredel tanpa peringatan. Memang, saat orde baru kekuasaan yang utama ada di tangan Presiden Soeharto. Buku ini juga mengulik banyak penerbit ternama yang dulunya telah merasakan pahit-manisnya dunia kejurnalisan.


David T. Hill merupakan penulis yang seringkali diketahui menuliskan masalah-masalah internal Indonesia. Tidak hanya buku ini saja yang menjadi salah satu karyanya, terdapat buku "Jurnalisme dan Politik di Indonesia" yang lebih dulu diterjemahkan dari buku ini. David banyak menuliskan buku mengenai Indonesia karena dirinya merupakan seorang pakar kajian Asia dengan spesialisasi kajian media di Indonesia. Dan bukunya yang ini telah menjadi karya klasik yang umum untuk dunia pers sendiri.


-Sinopsis-

    Dengan awalan yang menceritakan sebuah permulaan dari dunia pers di Indonesia, buku ini menjadi sebuah referensi untuk mengulik kembali asal-muasal dunia kejurnalisan di Indonesia. Dari terbentuknya di zaman kolonial Belanda sampai pemberedelan tanpa henti yang telah dijalani oleh banyak penerbit di masa Orde Baru. Tidak hanya itu, pers di masa Orde Baru bisa dikatakan banyak menampilkan konten-konten yang terlalu berbahaya untuk orang yang berada di dalam beritanya. Hal ini menyebabkan banyak penerbit terpaksa meninggalkan dunia jurnalistik dan tertahan surat izinnya untuk memposting kembali informasi-informasi yang pemerintah anggap bahaya itu.


-Kelebihan dan Kekurangan-

Buku ini membahas dunia jurnalistik dengan rincian data yang detail. Dari mulai banyaknya eksemplar sampai tahun-tahun berita diterbitkan juga dituliskan. Sepertinya penulis adalah orang yang memegang teguh pendiriannya, beliau juga menuliskan di tahun keberapa banyak penerbit yang ditahan izin terbitnya. Dari segi terjemahan, buku ini memang sangat mudah dipahami kecuali bagian tengahnya. Pembaca akan merasa dirinya sedang dikejar oleh aparat-aparat yang akan membumihanguskan penerbit "nakal" dengan beritanya yang dianggap berbahaya. Dengan kata lain, penerjemah berhasil membuat kata-kata dan kalimat-kalimat di buku ini mudah dipahami dan diresapi. 


Namun, untuk seukuran buku yang menggugah rasa cemas, khawatir, tegang, dan penasaran cover darinya dinilai kurang menarik. Walaupun memang, sampul buku itu menampilkan apa isi dari bukunya. Sebuah pena dengan gunting yang siap memotong pena si penulis, persis maknanya dengan apa yang akan disampaikan di dalamnya. Selain itu, bagian pendahuluan agak dirasa cukup sulit dipahami tidak seperti bagian selanjutnya.


-Ulasan-

    Jujur saja, saya sendiri merupakan orang yang anti dengan sejarah. Bukan karena apa, namun saya merasa otak saya tidak akan muat dengan banyaknya kejadian-kejadian yang saya sendiri tidak secara langsung mengalaminya. Seperti halnya di awalan buku ini alias bab Pendahuluan, saya merasa agak bingung dengan apa yang dibicarakan penulis. Entah karena penerjemahnya yang kurang bisa menjadikan kalimat asalnya mudah dipahami, ataukah kemampuan membaca saya masih jauh kurang dari kata "baik". Namun, sejauh saya membaca kata demi kata, saya menjadi tergugah oleh bagaimana banyaknya kesulitan yang dihadapi oleh penerbit di masa Orde Baru. Terdengar agak kejam memang, kesulitan orang lain menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya. Saya sarankan untuk yang anda yang ingin mengetahui, sekadar iseng, ingin mencari referensi, buku ini adalah pilihannya. Dengan data yang sebegitu banyaknya, anda akan merasa banyak tahu tentang pers di masa Orde Baru. 


Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud