Langsung ke konten utama

CLIFFORD GEERTZ HARUSNYA MAIN KE MADURA, TAK IYE?

 


"The Religion of Java” atau lebih tepatnya dikenal dengan terjemahan “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” merupakan sebuah buku karya Clifford Geertz dari hasil dia meneliti sebuah daerah. Dipercaya nama Mojokuto itu adalah sebuah samaran dari nama kota di Jawa Timur dengan banyak penduduk 18.000 asli Jawa, 1.800 Cina, dan sisanya orang Arab serta India. Dalam proses meneliti ini, Clifford Geertz cenderung menggunakan Bahasa Jawa dan mengikuti secara langsung proses-proses atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat.

Dalam buku ini, Clifford Geertz membahas ketiga sistem (abangan, santri, priyayi) menjadi 4 bagian. Pada bagian pertama, dia membahas tentang sistem abangan, di mana hal ini lebih menekankan kepercayaan pada roh-roh dan menjalankan sesuatu dengan rinci. Biasanya usaha yang dilakukan untuk menghalau gangguan dan meminta keselamatan dari roh ini disebut sebagai slametan. Pada Mojokuto, Geertz menjelaskan bahwa hajatan ini lebih mirip seperti template. Biasanya sebelum acara dimulai, anak dari tuan rumah akan menyebarkan pengumuman kepada tetangga-tetangga dekatnya untuk datang ke acara tersebut. Tetapi, walaupun sebelumnya tidak ada pengumuman sekalipun, biasanya para tetangga ini akan otomatis mengerti bahwa akan diadakan acara slametan di dekat rumahnya. Perlu diketahui, bahwasannya ada beberapa slametan yang prosesnya sangat berbeda dengan slametan lainnya. Misalnya slametan khusus tingkeban yang prosesnya lebih panjang dari sekadar salam, baca doa, dan makan hidangan.

Pada awal slametan umum, biasanya tuan rumah akan senantiasa menyambut para tamu yang datang dengan ucapan-ucapan terima kasih karena telah datang menggunakan Bahasa Jawa krama inggil (halus, untuk memuliakan). Setelah itu, tuan rumah akan mempersilahkan teman ataupun orang yang telah ia undang khusus untuk memimpin doa slametan. Dalam hal ini, biasanya orang yang diundang ini akan membacakan Al-Fatihah dan beberapa surat pendek. Setelah doa selesai, acara ditutup dengan hidangan makan-makan yang sebelumnya telah disediakan oleh para wanita di balik dapur. Hidangan ini tentunya juga memiliki makna tersendiri, seperti misalnya pemilihan bubur ataupun apem untuk slametan yang berbeda juga.

Di Mojokuto, acara slametan ini sering kali dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan keselamatan dari gangguan roh jahat seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, dan lain sebagainya. Keadaan ini, agaknya memiliki kesamaan dengan slametan di Madura sendiri. Dikenal dengan orang-orangnya yang menjunjung dan taat agama, tidak menjadikan Madura jauh dari slametan untuk menghalau gangguan roh jahat. Misalnya seperti yang baru-baru ini terjadi, adanya lonjakan kasus Corona Viruses Disease 2019 (Covid-19) di Madura membuat warga Kampung ABC percaya bencana tersebut disebabkan kurangnya sajen pada penguasa laut. Warga ini kemudian menginginkan adanya slametan (tentunya dengan doa-doa dalam Bahasa Arab) yang ditujukan untuk membuat kondisi menjadi kondusif kembali. Namun, entah karena hari ini lebih banyak warga yang sudah tidak percaya dengan adanya penguasa laut, ataukah mereka paham bahwa sebenarnya yang menguasai laut adalah Tuhan mereka sendiri, Kampung ABC akhirnya tidak jadi melakukan slametan. Sebagai gantinya, mereka akan melakukan burdah (biasanya oleh Nahdliyin) beberapa minggu sekali dengan rute jalan raya hingga mengelilingi kampung mereka sendiri.

Adapun penyebutan untuk makhluk halus di Madura yang diketahui tidak sebanyak yang disebutkan Geertz dalam bukunya. Memedi (terdiri atas Genderuwo dan Wewe), lelembut, demit, danyang, tuyul, jim, dan lainnya, mohon maaf apabila belum disebutkan. Sedangkan di Madura sendiri, orang-orang biasanya tidak mengkelompokkan makhluk halus, tetapi menyebutnya dengan sebutan yang biasanya sering mereka dengar. Misalnya, ketika mereka ingin menakut-nakuti anak yang sering keluar saat magrib, mereka akan memperingati dengan “Enga’ legghi’ molennah ekeco’ genderuwo!” (Awas nanti pulangnya diculik genderuwo!). Maksudnya, orang Madura tidak terlalu peduli apakah makhluk halus ini berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dan memilih menyebutnya dengan sebutan paling lumrah.

Begitupun juga sama dengan kesurupantampaknya orang Madura tidak menyukai banyak kosa kata. Entah orang yang dimasuki roh jahat ini berperilaku aneh, ekstrim, atau sekadar linglung saja, orang Madura akan menyebutnya kesurupan. Namun, berbeda dengan kasus di Mojokuto yang lebih menggunakan dukun untuk proses menghilangkan lelembut dalam tubuh, orang Madura yang dikenal taat agama (terutama Islam), lebih memilih memanggil ustad atau kiai. Berbeda tempat, berbeda kepercayaan, berbeda pula prosedurnya. Jika para dukun Jawa biasanya menghilangkan lelembut dengan teknik memijat tempat yang ditinggali, ustad Madura lebih memilih membacakan doa sambil memegang ubun-ubun penderita yang kemudian diberi segelas air doa.

Namun, tidak semua yang ada di Mojokuto berbeda dengan di Madura. Karena sejatinya yang berbeda hanyalah orang, sebutan, dan prosedurnya, sedangkan tujuannya sebagian besar masih sama. Salah satu makhluk halus yang sering kali dijadikan sebagai kambing hitam dari kayanya warga setempattuyul, pada kenyataannya masih banyak dibicarakan di Madura. Bahkan, seorang guru pernah mengajarkan pada muridnya untuk menyimpan uang dalam kitab suci Al-Qur’an. Disebutkan, apabila tujuan dari dilakukannya hal tersebut adalah untuk mencegah diambilnya uang tadi oleh tuyul suruhan. Tetapi, bisa saja hal tersebut merupakan sebuah tips untuk menghindari uang dicuri dari sesama manusia. Siapa manusia yang tidak tahu malu yang mencuri di depan ayat suci Al-Qur’an secara langsung?

Sayang sekali, Geertz hanya menjadikan kota Mojokuto sebagai tempat ia meneliti. Padahal, di tempat lain seperti Madura, sebenarnya juga memiliki kesaamaan seperti halnya di Jawa. Tentu, pengaruh seperti masuknya Islam, perbedaan budaya, dan karakteristik dari warganya menjadikan apa yang di Madura berbeda dengan di Jawa.

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud