Langsung ke konten utama

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN



Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...”

Judul                     : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan

Penulis                   : Rusdi Mathari

Penyunting            : Wisnu Prasetya Utomo

Perancang Sampul  : Ayos Purwoaji

Penerbit                 : Buku Mojok

Cetakan                 : Pertama

Tahun                    : Juli 2018

Harga                   : Rp78.000,00

ISBN                     : 978-602-1318-64-5

 

Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh Rusdi Mathari dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca.

Secara terang-terangan, dari judul pembaca dapat langsung memahami bahwa buku ini adalah sebuah kompilasi dari ‘dosa-dosa’ para wartawan dalam peliputannya. Dirinya secara gamblang menuliskan nama wartawan, bahkan medianya yang dia anggap janggal. Nama para politikus seperti Susilo Bambang Yudhoyono atau Kevin Rudd juga tak luput dari target sasaran Rusdi sebagai tokoh dalam tulisannya.

Saat membaca halaman awal, pembaca diharapkan untuk tidak merasa dihakimi oleh tulisan Rusdi. Terutama tulisannya yang berjudul ”Wartawan dan Kebohongan”. Rusdi mengatakan bahwa, wartawan dan kebohongan merupakan unsur yang tidak boleh bersatu. Pasalnya, wartawan dituntut dan diberi tanggung jawab untuk menyebarkan informasi yang aktual tanpa tambahan atau maksud salah satu pihak. Lalu, jika dalam proses mencari maupun menuliskan informasi tersebut seorang wartawan masih mencuri-curi kesempatan untuk mengelabuhi pembaca, maka tidak dipungkiri beberapa tahun lagi berita tak lebih dari pesan siaran ibu-ibu WhatsApp.

Bukan hanya berbohong dalam menyajikan berita, Rusdi bahkan menganggap kebohongan ini sebagai ‘Kejahatan Terbesar’ dari seorang wartawan dan media. Misalnya, media online yang disebut sering kali mengubah tanggal ataupun jam pengunggahan berita mereka pada situs halaman untuk mendapatkan gelar tercepat. Rusdi menolak keras hal ini, terlihat secara jelas dari beberapa kali ia tertangkap mengungkit kembali isu ini dalam tulisan lainnya.

Lalu, kebohongan lainnya ialah perbuatan ‘kloning’ sebuah hasil wawancara untuk beberapa berita. Maksudnya? Misalnya, wartawan A harus pergi meliput sebuah kejadian di suatu daerah. Dalam waktu itu juga, seharusnya wartawan B juga meliput kejadian yang sama, namun dengan angle atau sudut pandang yang berbeda. Tetapi, wartawan B sedang berhalangan hadir dan akhirnya ia meminjam hasil wawancara wartawan A untuk beritanya. Anehnya, ketika nanti berita tersebut terbit, wartawan B tidak akan mencantumkan nama/inisial wartawan A sebagai yang ‘benar-benar’ meliput.

Perlu diingat, tidak hanya membahas tentang dosa para wartawan dan media, Rusdi juga memberikan contoh kasus real yang menjadi acuannya menulis. Misalnya, untuk kasus media yang mengubah tanggal pengunggahan, ia memberikan contoh dari tvOne. Pada saat itu, tvOne mengutip isi dari berita VIVA.co.id yang terbit setelah berita tvOne terbit. Jika dilogikakan, ada dua kemungkinan. Yang pertama, karena tvOne dikenal dekat dengan VIVA.co.id dan mereka saling berbagi informasi. Sedangkan, yang kedua, tvOne mengubah tanggal pengunggahan sehingga medianya dianggap yang paling cepat.

Salah satu kutipan yang perlu direnungkan kembali oleh wartawan dan media adalah:

”Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” halaman 152.

Kalimat tersebut seharusnya menjadi sebuah tamparan bagi wartawan dan media yang sampai saat ini masih memaklumi kesalahan ataupun kekeliruan dari beritanya tanpa klarifikasi ataupun ralat. Bahkan, media seperti Tempo saja membuka diskusi untuk membicarakan beritanya yang dibantah dan dianggap salah. Tempo juga tidak segan-segan mengunggah hak jawab dari orang-orang yang namanya sempat dicatut dalam berita Tempo.

Lain dari isi buku, karya ini cocok untuk dijadikan sebagai referensi bagi wartawan maupun bukan. Sehingga, pembaca berita nantinya juga tidak mudah dibodohi oleh berita-berita bohong dan tendensius. Sudah menjadi tugas wartawan melakukan framing dalam beritanya, tinggal apakah pembaca menerimanya dengan mentah-mentah atau tidak.

 

 

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi