Langsung ke konten utama

SIREN DI PULAU ATYCHIA



Ikan-ikan kecil berputar di bawahku. Membentuk sebuah pusaran yang buyar ketika aku lemparkan kerikil batu. Ombak-ombak laut hari ini tidak terlalu besar, bahkan cenderung tidak ada. Paman Damian, pak tua itu, seperti biasanya memancing sejak pagi sampai matahari tenggelam.

Dari tempatku memandang, jauh di sana, ada sebuah bukit yang ayah bilang merupakan tempat binatang buas bersemayam. Aku tidak pernah ke sana, bahkan melihatnya saja membuat bulu kudukku merinding. Desa ini sudah cukup menjadi tempatku hidup, ditambah dengan adanya Circe.

Bocah yang tinggal dengan bibi pemilik bar itu tidak pernah mengetahui siapa orang tuanya. Orang bilang, ayahnya adalah warga desa yang tidak pernah kembali sejak dirinya pergi memancing. Sedangkan ibunya, tidak ada yang tahu. Menurut Circe, ibunya adalah siren, karena itu ayahnya membawa Circe pulang setelah seminggu pergi memancing, dan ketika ayahnya kembali ke laut, ia tak pernah muncul lagi.

”Sedang memikirkan apa, Heros? Tampaknya dirimu larut dalam pikiran,” tiba-tiba Circe telah duduk disebelahku.

“Tidak ada, aku hanya kagum pada keindahan laut. Aku juga,”

“Juga apa? Jangan buat aku penasaran atau aku tidak akan memberitahumu sesuatu yang baru saja kutemukan,” kali ini mata Circe memberitahukan kebenaran.

“Maksudku, aku juga penasaran mengapa dirimu selalu membawa flute tua itu. Sekarang beritahu aku apa yang kau temukan.”

Circe menghirup napas dalam-dalam, tak lama kemudian dia mulai memainkan flute-nya. Melodi yang indah, namun sudah bosan aku dengarkan. Selalu itu saja yang ia mainkan.

“Heros, aku menemukan sebuah penggalan yang indah!” dirinya menyodorkan sebuah surat yang terkoyak.

 

Let the ocean fill your lungs

Struggle not, soon peace will come

Taking in your final breath

Sink down to the ocean's depths

(Siren Song – Sara Singer)

 

“Indah? Ini menyeramkan, Circe!”

“Apa maksudmu, Heros? Menurutku ini indah!” kerutan di wajahnya semakin jelas, ia kesal padaku.

Paman Damian yang sejak tadi memancing kini mulai terganggu dengan keberadaan kami. Akhirnya pak tua itu mulai angkat bicara dan menengahi argumenku dengan Circe yang tak kunjung usai.

“Kalian, anak muda, seharusnya membantuku mencari ikan kecil. Lihatlah, mereka pergi karena kalian mengganggu ketenangannya.”

“Bagaimana menurut Paman? Apakah surat ini indah ataukah menyeramkan?” Circe kembali menyodorkan surat itu kepada Paman Damian.

Sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik, Paman Damian tidak mengatakan apapun.

“Ini... Paman tidak tahu,” dirinya mengembalikan surat tersebut dan bersiap pulang.

Circe hanya bisa menekuk wajah. Kemudian ia berlari pulang mendahului Paman Damian. Merasa angin malam mulai datang, aku pun juga memutuskan kembali pulang.

Bibi Alessandra, selalu membuka barnya saat sore hingga tengah malam. Ia tidak menagih uang pengganti ataupun bayaran karena telah menampung Circe di rumahnya. Sebagai ganti, Circe harus membantunya bekerja di bar melayani orang-orang.

“Oh, Circe! Bibi kira kau pergi ke mana. Antarkan bir ini pada tuan yang di sana,” dengan cekatan Circe mengantarkan pesanan kepada setiap pelanggan. Ketika tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, akhirnya ia memberanikan diri bertanya kepada Bibi Alessandra perihal penggalan surat tadi.

“Bibi, maafkan aku tidak memberitahukan apapun tentang ini. Tapi, tadi aku memungut sebuah penggalan surat ketika membersihkan kamar Bibi.”

“Surat? Seumur hidup, Bibi tidak pernah menerima surat, Circe sayang.”

Circe memberikan penggalan surat ‘indah’ kepada Bibi Alessandra. Seketika wajahnya berubah, ia terlihat khawatir.

“Apakah ada yang salah, Bibi?” Circe penasaran, pasti ada sesuatu dengan surat itu.

“Oh, tidak! Hanya saja menurut Bibi ini terlalu menyeramkan. Kemudian, mulai sekarang jangan pernah pergi ke laut saat malam tiba,” jawab Bibi Alessandra.

“Mengapa?”

“Yah, sekarang angin sedang kencang ketika malam. Pergantian musim, kamu tahu.”

Circe tidak menemukan jawaban atas penggalan surat itu, yang dia tahu orang-orang hanya menyebutnya ‘menyeramkan’ atau sebagainya. Surat itu memang indah, namun seharusnya pasti ada lanjutan ataupun kalimat sebelumnya. Kini pikiran Circe hanya terfokus pada surat itu, dirinya merasa ada yang janggal.

Selesai membantu Bibi Alessandra menutup bar, Circe segera masuk menuju ruang bawah tanahruangan yang menjadi kamarnya. Walaupun pikirannya masih kalut pada surat itu, dirinya memaksa memejamkan mata. Tidak ada yang lebih baik daripada tidur.

 

Hear my voice beneath the sea

Sleeping now so peacefully

At the bottom of the sea

Sleep for all eternity

Sailors live so restlessly

Come with me, sleep peacefully

Listen to this siren's song

Worry not for nothing's wrong

 

Circe terbangun dari tidurnya, suara itu terdengar nyata. Di sana, dari laut sana asalnya. Nyanyian itu sangat indah, sangat mirip seperti melodi yang selalu ia mainkan dengan flute-nya. Penasaran, Circe memutuskan untuk menemukan petunjuk dari suara itu. Menurutnya, angin malam yang dimaksud Bibi Alessandra tidak terlalu berbahaya.

Dari pinggiran laut, Circe melihat seorang wanita berenang menuju tempatnya berdiri. Tidak diragukan lagi, suara itu memang berasal dari wanita tersebut. Semakin dekat Circe dengannya, semakin nyaring alunan nyanyiannya. Circe memang merasakan takut yang luar biasa, namun rasa penasarannya jauh lebih besar. Dia ingin tahu, siapa orang yang mengetahui melodi ini selain dirinya.

Lama kelamaan wajah wanita itu terlihat dengan jelas. Kulit putih bersisik, rambut berwarna silver, dan telinga yang agak meruncing. Circe agak terperanjat saat sinar bulan menerangi wajah wanita itu.

“S-siren?”

“Oh, Circe sayang. Jangan panggil ibu seperti itu.”

Circe jatuh terduduk. Dirinya terkejut makhluk bersisik itu mengetahui namanya, bahkan menyebut dirinya sebagai Ibu!

“Tidak perlu takut, sayang. Ini Ibumu. Lihatlah, rambut kita sama,” tangan dingin dan berlendir wanita itu mengelus lembut wajah Circe.

“Kau tahu melodi yang sering kau mainkan? Itu lagu kami Bangsa Siren, Circe. Cobalah sekarang kau mainkan.”

Circe agak ragu, namun apa boleh buat. Dirinya antara setengah percaya dan tidak percaya bahwa yang di depannya adalah ‘Ibu’. Sambil terduduk, Circe meniup flute-nya dan memainkannya. Keduanya lebih mirip seperti berkolaborasi, siren yang bernyanyi dan suara flute Circe yang mengiringi.

“Sangat indah, sangat indah,” wanita itu kini memuji permainan keduanya. Circe agak terkejut, selama hidupnya tidak ada yang memuji permainan flute dirinya.

“Maafkan Ibu, Circe. Kau harus tumbuh tanpa kami. Warga desa membenci Siren dan mereka selalu berusaha memburu kami, Ibu tidak punya pilihan.”

“Kami?”

“Ya, Ibu dan Ayah. Ayahmu... memutuskan untuk tinggal dengan kami Bangsa Siren, di pulau Atychia.”

Circe akhirnya mengetahui teka-teki yang sejak dulu belum ia temukan jawabannya. Dari surat, melodi lagu, hingga keberadaan orang tuanya.

“Sebentar lagi matahari akan terbit dan Ibu harus pergi, Circe,” wanita itu memeluk Circe dan akan berenang menjauh. Namun, tangan Circe menahannya. Menurutnya, tidak seharusnya ia bertemu dengan Ibunya dan kini dia harus kehilangannya lagi.

“Jika kau benar ibuku, maka bawalah aku,” Circe masih menahan erat tangan wanita itu.

“Sebenarnya Ibu terlalu takut untuk mengajakmu ke Atychia. Tapi jika kau ingin pergi ke sana, maka Ibu akan sangat senang.”

Circe dan wanita itu akhirnya berenang bersama melawan arus. Pada akhirnya, Circe menuju titik terangnya selama ini. Tidak ada yang mengetahui kejadian pada malam itu, hingga keesokan harinya.

Paman Damian yang biasanya pergi memancing saat pagi terkejut ketika menemukan flute milik Circe tergeletak begitu saja di pinggiran laut. Tanpa rasa curiga, dirinya memungut flute tersebut dan berniat mengembalikannya jika bertemu Circe nanti. Namun, ternyata masih ada hal yang lebih mengejutkan dirinya. Sebuah tubuh wanita muda ditemukan di bawah dermaga tempat ia biasanya memancing.

Ketika warga berkumpul dan melihat proses pengangkatan tubuh itu, mereka terkejut atas penemuan tubuh Circe! Tubuhnya masih belum membusuk, hanya saja terlihat telah berada di dalam air beberapa jam yang lalu. Bibi Alessandra yang mengetahui Circe ditemukan tewas karena tenggelam, menangis histeris ketika melihat jasadnya.

“Circe! Mengapa kau tidak patuh padaku! Pada akhirnya kau mengikuti jejak ibumu!”

Aku masih tidak percaya Circe akan pergi dengan cara seperti ini. Aku masih ingat ketika dulu, Ibu Circe, memutuskan menenggelamkan diri setelah suaminya yang berlayar tewas dilahap ganasnya laut. Ternyata memori itu melekat pada Circe kecil, hingga berubah menjadi trauma yang samar dan menganggap ibunya adalah siren. Perilaku Circe menurut dokter dari kota, merupakan tanda-tanda dari Skizofrenia. Entahlah, penyakit itu terlalu sulit diucapkan oleh warga desa kami.

Tentang penggalan surat itu, kuketahui beberapa hari dari Bibi Alessandra bahwa sebenarnya tulisan itu dibuat oleh Ibu Circe. Setelah suaminya tidak kembali selama satu minggu berlayar, Ibu Circe membuat surat itu dan memberikannya pada pada Bibi Alessandra sambil menitipkan Circe.

“Perse, wanita malang itu, memutuskan ikut suaminya menyatu dengan laut! Aku masih ingat saat dirinya menitipkan surat ini dan Circe. Dia bilang, ini adalah uang hidup seminggu Circe selama dirinya pergi mengunjungi rumah mertuanya,” itu yang aku dengar dari Bibi Alessandra.

Namun, entahlah. Setidaknya sekarang Circe telah bersama Ayah dan Ibunya. Menjadi warga dari ganasnya laut. Terkadang ketika sedang mengagumi laut, aku melihat ikan yang sangat cantik, berwarna silver dan coklat, mengingatkanku pada Circe.

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud