Langsung ke konten utama

KUCUMBU TUBUH INDAHKU (2019): KEBRUTALAN YANG INDAH

 


Film yang sempat mengundang teguran, bahkan pemboikotan dari khalayak ini menyimpan berbagai macam seluk-beluk dari dualisme seorang laki-laki. Laki-laki yang dipandang sebagai makhluk dengan kemaskulinitas, ternyata juga memiliki sisi femininnya. Namun yang kedua itu jarang ditampakkan. Mengapa? Karena pandangan sekitar. Laki-laki yang menonjolkan sisi femininnya tak jarang dilabeli sebagai “waria” atau wanita dan pria. Meskipun, sebenarnya tidak ada penghubung antara kedua elemen tersebut.

Di dalam film Kucumbu Tubuh Indahku (2019) atau dengan judul Bahasa Inggris Memories of My Body (2019), Garin Nugroho ingin menampakkan wujud dari kehidupan sebenarnya. Sungguh, beberapa adegan di dalam film ini terkadang membuat penonton menjadi meringis, mual, atau bahkan jijik. Bukan karena adegan-adegan bercintanya, namun film ini sering memperlihatkan kebrutalan yang dianggap sebagai “klimaks” oleh Garin Nugroho sendiri (berdasarkan wawancara beliau dengan KOMPASTV).

Brutal? Tidak terlalu, mungkin relatif bagi setiap pribadi. Namun, dalam pemaparannya, Garin menceritakan tentang realita dari kehidupan itu sendiri yang dimulai dari hal-hal kecil, hingga puncak masalah yang dihadapi oleh seorang tokoh. Seperti diperlihatkan di dalam film, tokoh dari Guru Lengger yang diperankan oleh Sujiwo Tejo ini melakukan hal sadis kepada salah satu muridnya yang berani bertindak di luar batas (silahkan tonton filmnya untuk gambaran yang lebih jelas). Padahal sebelumnya, Guru Lengger itu masih bisa bersantai menyesap kopi buatan istrinya. Nah, hal tersebut yang dimaksud oleh Garin “hal-hal kecil dalam kehidupan”.

Selain dari pemaparan tersebut, Garin dalam film ini banyak mempertontonkan trauma-trauma yang dialami tokoh-tokohnya. Misalnya saja, tokoh dari Ayah Juno yang dikatakan sering pergi ke laut. Hal itu disebabkan dirinya ingin mengingat kembali sanak keluarganya yang bersemayam di laut setelah dianggap mengikuti paham komunis dan partainya. Sehingga, yang tersisa hanya beberapa orang saja termasuk dirinya.

Tidak hanya sang ayah, Wahyu Juno dengan sapaan Juno, juga mengalami trauma yang sangat mendalam diakibatkan adegan sadis yang dilakukan oleh Guru Lenggernya saat masih kecil dulu. Saat itu, dia tidak tahu apa-apa selain “aku ingin belajar menari” dan tidak mengerti bahwa, kebrutalan seperti itu bisa ia saksikan dari bola matanya sendiri dari seseorang yang ia sukai.

Ditinggal ayahnya, pakde-nya, ibunya, bahkan guru Sekolah Dasar yang sempat ia anggap “ibu” pun membuat Juno terbiasa dengan ditinggalkan. Di dalam film, tidak banyak tokoh yang memiliki nama panggilan “nama”. Kebanyakan dari mereka hanya menggunakan nama panggilan seperti: bos, petinju, pakde, guru, Guru Lengger, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki peran yang besar dalam alur cerita, kecuali Juno.

Garin, menyatakan bahwa film ini sebenarnya ia buat setelah terinspirasi dari kisah Rianto, seorang penari yang sudah masuk kancah Internasional. Bahkan, Rianto berperan dalam film ini sebagai seorang “Juno” yang sudah melewati masa-masa kelam dan menjadi dewasa.

Sama seperti yang telah disebutkan di awal, Rianto mengatakan hal yang sama, bahwa dirinya beranggapan dalam diri manusia terdapat dua sisi yang berbeda. Tari lengger lanang ini, ia katakan sebagai kombinasi yang sempurna dari kedua sisi manusia, maskulin dan feminin. Ia juga memperjelas, apabila tari ini tidak hanya sekadar tari atau gerakan saja, namun juga merupakan proses dari peleburan dua unsur tadi (berdasarkan wawancaranya dengan BBC News Indonesia).

Namun, ingin seberapa banyak pesan-pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh Garin maupun karyanya, film ini tetap mendapat tentangan keras dari banyak orang, melebihi penontonnya. Sebagai contoh, Mohammad Idris Abdul Shomad, yakni Wali Kota Depok, melarang adanya tayangan film ini di bioskop-bioskop kotanya. Tidak hanya itu, larangan juga menjamur dari pulau-pulau lainnya, seperti Sumatra dan Kalimantan. Namun, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan pihaknya tidak bisa melarang dikarenakan perfilman bukan wewenangnya.

Menanggapi hal ini, Garin memmperjelas apabila ia menolak larangan yang sebenarnya masih belum menemukan pesan-pesan sebenarnya dari film tersebut. Garin menyebutkan, pemikiran masyarakat sebenarnya ‘aneh’ dengan melegalkan dan menerima film seperti Bohemian Rhapsody (2018), yang tidak mendapatkan perlakuan sama seperti filmnya. Walaupun dengan kondisi yang seperti itu, film ini masih memanen banyak penghargaan dari festival film, salah satunya kategori Film Pilihan Tempo (2018) dan Film Cerita Panjang Terbaik (2019).

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud