Langsung ke konten utama

TALIBAN DAN ARAB SPRING: AKANKAH TERULANG KEMBALI?



Baru-baru ini media dikejutkan dengan situasi di Afganistan yang sedang kacau diacak-acak oleh Taliban. Gerakan tersebut muncul diakibatkan kekecewaan dari masyarakat etnis Pashtun yang tidak suka dengan pemerintahan sekarang. Hingga akhirnya kini istana kepresidenan jatuh di tangan Taliban. Sedang pemimpinnya sendiri, memilih untuk kabur dan meninggalkan negaranya dalam situasi tersebut.

Taliban sering dikait-kaitkan dengan teroris-teroris semacam Al-Qaeda, namun hingga saat ini, tidak muncul siapakah sebenaranya dalang dari di balik berkuasanya Taliban. Dengan tujuan yang katanya hanya ingin menerapkan Hukum Islam di pemerintahan, Taliban berjanji tidak akan mengulangi ‘kesalahan’ yang dulu pernah mereka lakukan.

Dalam sejarahnya, pada tahun 1996, setelah Taliban berhasil merebut istana kepresidenan dalam genggaman Najibullah Ahmadzai, mereka langsung menyatakan bahwa Afganistan merupakan negara yang menganut Hukum Islam. Dalam hal tersebut, terdapat tiga negara yang mengakui pergantian sistem negara Afganistan, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Pakistan.

Kemudian, kejadian yang sama terulang kembali pada Senin, 16 Agustus 2021 kemarin. Namun, juru bicara dari Taliban mengatakan bahwa, mereka tetap akan menerapkan Hukum  Islam, namun dengan aturan yang relevansi dengan dunia sekarang.

Taliban yang dulu, tahun 1996, dianggap sebagai kelompok yang buruk. Setelah merebut kekuasaan, mereka mulai dengan ketat mengawasi dan menghukum warga-warga yang tidak sesuai dengan Hukum Islam. Bahkan, situs kuno yang diperhitungkan berusia kurang lebih 1.500 tahun dihancurkan, dengan dalih musyrik. Wanita-wanita pada masa itu kembali dikekang kebebasannya. Tidak boleh bekerja, bersekolah, hingga ingin bepergian saja mereka harus didampingi oleh mahromnya.

Tidak heran, jika saat ini kependudukan mereka masih mengundang ketakutan dari masyarakat Afganistan. Mereka tidak akan semudah itu jatuh kepada janji-janji Taliban, yang entah benar atau tidaknya.

Tetapi, jika diamati lebih lanjut, setelah Taliban berhasil merebut kekuasaan sebanyak dua kali, mungkinkah mereka akan menimbulkan ‘Taliban-taliban’ lainnya? Seperti kejadian Arab Spring, Taliban bisa saja menimbulkan sebuah gerakan-gerakan yang akan berusaha merebut pemerintahan di negaranya demi merubah sistem.

Politik Arab Spring hampir mirip dengan Taliban, mereka melakukan revolusi di negara-negara Arab. Revolusi ini, ingin mengubah pemerintahan rezim otoriter yang sudah mengakar pada negara-negara Timur Tengah. Diawali dengan aksi bakar diri seorang pemuda di Tunisia, Arab Spring semakin meluas dengan tindakan-tindakan represif sebagai bentuk protes mereka.

Berawal dari satu negara, lalu menyebar pada negara Arab lainnya, revolusi yang dilakukan Taliban mungkin saja nantinya akan mengulang kisah yang sama. Ketika Taliban dengan mudahnya membuat Presiden Afganistan kocar-kacir dan memilih kabur, masyarakat dunia akan memandangnya seolah gerakan seperti Taliban sebenarnya ampuh untuk menggulingkan kekuasaan. Bisa saja, setelah Afganistan situasinya telah damai, akan muncul ke permukaan kelompok-kelompok lainnya yang memorak-porandakan pemerintahan negaranya sendiri. Dengan dalih yang sama seperti Taliban, mereka akan mulai menyuarakan paham yang mereka anggap benar.

Revolusi semacam ini, sebenarnya bisa saja dijadikan sebagai bahan evaluasi dari pemerintahan sebelumnya. Dengan mengganti sistem negara, nantinya akan dapat diketahui aturan-aturan apa saja yang sebenarnya perlu untuk diubah. Tentunya tidak dengan tindakan represif seperti yang Taliban dan gerakan Arab Spring lakukan. Sejatinya, masyarakat yang tidak tahu menahu pastinya sedang dijangkiti ketakukan yang mendalam. Sedang orang-orang yang berpolitik ini hanya fokus dalam tujuannyaentah itu tujuan nasional atau kelompokagar segera tercapai.

Komentar

Yang disukai

Resensi Buku "Perempuan di Titik Nol"

Resensi Buku: Perempuan di Titik Nol oleh Nawal El Saadawi. Judul: Perempuan di Titik Nol (Emra'a enda noktat el sifr) Penulis: Nawal El Saadawi Penerjemah: Amir Sutaarga Perancang sampul: Ipong Purnama Sidhi Penerbit: Yayasan Pendidikan Obor Indonesia Tanggal terbit: Januari 2003 Cetakan: Ketujuh Isi halaman: 156 halaman ISBN: 978-461-040-2               Buku ini adalah karya salah satu penulis asal Mesir yang juga merupakan seorang psikiater. Ia adalah Nawal El Saadawi . Tidak hanya seorang psikiater, Nawal juga merupakan seorang aktivis feminis yang membuat sebagian isi dari buku ini menjunjung tentang perempuan. Buku ini awalnya ditolak oleh penerbitan Mesir. Tidak berhenti di situ, Nawal akhirnya berhasil menerbitkan buku ini di Lebanon pada 1975, tiga tahun dari jadwal yang direncanakan. Di Indonesia sendiri, buku ini diterjemahkan dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Yayasan Pendidikan Obor In...

Resensi Buku: Pers di Masa Orde Baru oleh David T. Hill.

Judul : Pers di Masa Orde Baru (The Press in New Order Indonesia Penulis : David T. Hill Penerjemah : Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Perancang sampul : Iksaka Banu Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia Tanggal terbit : Juli 2011 Cetakan : Pertama Isi halaman : 232 halaman ISBN : 978-979-461-786-1     Pers di Masa Orde Baru merupakan sebuah karya terjemahan dari David T. Hill. Buku ini berjudul asli "The Press in New Order Indonesia" dan diterjemahkan oleh Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo. Dengan awalan yang cukup panjang untuk sebuah monograf, pembaca yang belum pernah membaca sejarah mengenai orde baru pasti akan merasa bingung. Pembaca dibuat berputar-putar dengan ingatan-ingatan kelam akan dunia jurnalis itu dari tahun ke tahun. Banyak terbitan-terbitan majalah ataupun koran harian yang dibredel tanpa peringatan. Memang, saat orde baru kekuasaan yang utama ada di tangan Presiden Soeharto. Buku ...