Langsung ke konten utama

"Ibu, Maaf."


         Musik khas pulang sekolah telah berbunyi, Sena, seorang gadis berusia 17 tahun, keluar dari ruang kelasnya. Ia mempercepat gerak-gerik kakinya untuk segera pergi menuju halte bus. “Sena!” seseorang memanggil namanya. Setelah melihat siapa yang datang, ia menghela napas. Dia adalah Nindi, teman dekat Sena. Yang Nindi tahu, Sena adalah seorang anak beruntung dari keluarga konglomerat. Namun, walaupun ia mengetahui hal itu, Nindi tidak pernah sekalipun berkunjung atau bertemu kedua orang tua Sena.

 

            Kedua gadis remaja itu berjalan menyamakan kecepatannya menuju halte bus. Sembari tertawa karena mereka saling melempar lelucon. Tiba-tiba tawa mereka terhenti, seorang pria tua mengamati mereka berdua dari ujung jalan. Tentu saja hal yang ada di pikiran mereka berdua adalah hal-hal buruk. Tidak sampai pria itu mendatangi Sena dan Nindi, bus telah mendarat.

 

            “Eh orang tadi tuh aneh banget gak sih? Serem banget.” rengek Nindi. Sena hanya menanggapi dengan senyuman hangat, seakan ia sedang menenangkan sahabatnya. Suasana di dalam bus sepi seperti biasanya, tidak ada pedagang kaki lima di dalamnya. Tidak ada pula pengamen dengan gitar khasnya.

 

            Bus sudah berjalan cukup jauh dari sekolah, satu persatu dari para penumpang turun. Tak lupa juga Nindi. “Sen, gue balik ya, hati-hati. Bye!” itulah kalimat yang selalu Nindi katakan saat ia turun dari bus. Bus berjalan satu kilometer dari rumah Nindi, dan kini saatnya sang putri konglomerat turun. Tapi, pemukiman “elit” ini sama sekali tidak menampakkan keelitannya.

 

            Sampah dimana-mana, jalan yang becek, rumah yang reyot, tidak ada satu hal pun yang menunjukkan keelitan tempat tinggal seorang Sena. Bahkan rumah Nindi pun yang berasal dari keluarga menengah masih terbilang layak tinggal. Tidak ada pintu dengan engsel, rumah Sena hanya ditutupi terpal yang jika musim hujan tiba mereka mengikatnya dengan erat.

 

            “Sena, kamu kok gak nungguin ibu tadi? Kemarin juga gitu.” sapa ibu Sena. Beliau bekerja sebagai tukang kebun di sekolah putrinya. Mungkin itu menjadi alasan mengapa Sena selalu berjalan cepat menuju halte bus. “Ayah mana?” tidak menjawab pertanyaan ibunya, Sena balik bertanya. Sang ibu hanya menggelengkan kepala. Ia kemudian menata makanan diatas meja belajar yang jarang Sena pakai.  Seperti hari-hari lainnya, hidangan kali ini tahu goreng dengan sambal. Mungkin Sena hanya makan makanan lain sekali sebulan.

 

            Raut kesal terukir jelas di wajah Sena. Ia kesal mengapa orang tuanya tidak seperti anak lain, yang menghidangkan makanan lengkap dan berbeda setiap hari. Saking kesalnya, ia tanpa berbicara apapun menolak makan dan keluar dari “rumah mewah” nya. Tidak sampai berjalan lima langkah kaki, sang ayah datang, dengan gerobak sampahnya. “Sena, tadi ayah mau ketemu temen kamu kok kamu langsung naik bus?” tanpa menjawab pertanyaan orang tua untuk yang kedua kalinya, Sena melengos pergi.

 

            Jam menunjukkan pukul sebelas malam, orang tua Sena khawatir dengan keberadaan anaknya yang tidak diketahui. Sang anak yang sedang dicari kini duduk santai dengan pacarnya di trotoar. Yang pacar Sena tahu, Sena adalah anak konglomerat, sama seperti Nindi. Ia pun juga sama sekali tidak pernah menanyakan orang tua Sena.

 

            Sebagai orang tua, sang ibu tidak akan berdiam diri menunggu kehadiran putrinya di rumah. Ia mencari dan bertanya kepada orang sekitar tentang keberadaan anaknya. Setelah berjalan cukup jauh, diseberang jalan, mata sang ibu melihat seorang gadis yang mirip dengan putrinya sedang dianiaya oleh pria paruh baya.

 

“Sena!” kali ini sang ibu yang memanggil Sena. Karena rasa marah pada pria tersebut sang ibu berjalan tanpa memperhatikan keadaan jalan. Sebuah motor yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh sang ibu. Keadaan menjadi sepi sejenak, tamparan yang dilayangkan pacar Sena terhenti, pun tangisan Sena. Orang-orang yang lewat dengan cepat menghampiri kecelakaan tersebut.

 

Sang putri kini hanya bisa terdiam di tempat, tubuhnya bergetar hebat, dadanya sesak seakan ada yang akan meledak.  Dari sang ibu tergeletak di jalan raya sampai ia digotong dengan kantong mayat pun Sena hanya bisa berdiam diri dan hanya bisa menangis.

Kini, tidak ada orang yang akan membuatkan dirinya tahu goreng dan sambal, tidak akan ada sapaan khas saat pulang sekolah. Yang hanya bisa dilakukan Sena hanya mengucap kata “Ibu, maaf.” setiap harinya.

Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud