Langsung ke konten utama

Menjadi Mata-Mata.

 Halo, teman keluh kesahku. Kini adalah waktu yang tepat untuk aku menceritakan pengalaman lucu. Menjadi mata-mata judulnya.

 

Hari itu pukul dua sore, saat kami masih berada di sekolah. Tidak ada guru yang mengajar, jadi kami hanya melakukan apa yang disuka saja. Tapi, daripada aku menghabiskan waktu untuk hal yang kurang berguna, kugunakan saja waktuku untuk belajar soal. Tapi tidak terlalu nyaman di kelas karena ramai. Jadi aku ajak salah satu temanku, Fitri namanya. Dia suka ”nongkrong” di perpustakaan, sambil membaca buku pastinya.

 

Sebelum pergi, aku menyiapkan amunisi teh pucuk, kertas soal, buku pendamping, dan orang pendamping, maksudku Fitri. Aku tahu ada peraturan yang menyebutkan tidak boleh membawa minuman di dalam perpustakaan, tapi tetap saja kulakukan, karena kalau bisa diselundupkan kenapa tidak?

 

Kami habiskan waktu kami di perpustakaan, dia membaca novelnya dan aku membaca soalku. Menurutku mengerjakan soal soshum cukup menyenangkan, jika tahu jawabannya. Nyatanya aku hanya tahu separuhnya dan sisanya kubiarkan saja “Nanti aku cari dirumah.” pikir otakku.

 

Tidak terasa waktu sudah berjalan cukup lama, bel pergantian jam sedang berbunyi. Ibu penjaga perpustakaan pun menengok dan menanyakan kami “Nak, kalian apa tidak ada yang mengajar kok dari tadi disini?.”. Kami hanya bisa mengatakan tidak, namun sebenarnya saat waktu pergantian jam akan ada guru yang mengajar, Bu Mus namanya.

 

Sebelumnya, aku dan Fitri bersekongkol untuk tidak mengikuti pelajaran beliau karena kami sendiri tidak tahu, tak ada alasan khusus. Jadi sampai jam pulang pun kami di perpustakaan, kami menunggu sekitar sepuluh menit untuk mengira-ngira apakah Bu Mus sudah keluar dari kelas atau tidak.

 

Sepuluh menit berakhir, kami pamit kepada penjaga perpustakaan dan kembali ke kelas. Saat Fitri akan membuka pintu aku pun menarik lengannya. “Fitri!” bisikku. Aku menunjuk sepasang sepatu berwarna kecoklatan yang tidak lain adalah milik Bu Mus. Kelas kami berkarpet, jadi itulah mengapa semua sepatu ada di depan pintu kelas.

 

Konsekuensi yang kami dapat jika telat, apalagi tidak ikut pelajaran Bu Mus adalah hafalan surat. Daripada kami mendapat hukuman, kami memilih bersembunyi agak jauh namun masih bisa melihat pintu kelas, agar kami tahu keluar tidaknya Bu Mus.

 

Lokasi yang kami pilih cukup strategis, jika dari pintu kelas kalian hanya bisa melihat pohon tinggi dengan daunnya yang lebat. Namun jika dari lokasi kami, kalian bisa melihat pintu kelas, ruang guru, dan gerbang sekolah lewat celah-celah daun.

 

Aku dan Fitri saling bergantian mengecek pintu kelas, sudah tiga puluh menit berlalu namun Bu Mus belum keluar. Kami sedikit curiga bahwa Bu Mus sedang menunggu keberadaan kami, tapi kami tidak goyah. Kami tetap bersembunyi, toh sepatunya masih di tempat awal.

 

Lama sekali kami menunggu, sampai sepertinya di sekolah tersisa kelas kami saja.

Dan waktu yang kami tunggu akhirnya tiba, Bu Mus keluar dengan tas punggung khasnya. Kami menunggu sampai beliau benar-benar masuk ke dalam ruang guru. Untuk berjaga-jaga.

 

Setelah semua aman, kami masuk kelas dengan buru-buru karena barang-barang kami pasti belum dirapikan. Aku menanyakan kepada teman sekelas apakah Bu Mus mencari kami dan jawabannya, tidak. Kami sedikit kecewa karena ternyata rasa cemas kami sia-sia, namun tentu saja hal yang saat itu kami lakukan adalah hal yang terbaik. Bayangkan saja jika saat bel pulang kami baru masuk kelas, bisa saja kami diberi hukuman, kan?

 

Sekian cerita dariku yang tidak terlalu lucu. Untuk nama, di sini semuanya menggunakan nama samaran karena aku belum izin kepada yang bersangkutan. Selamat membaca dan nantikan keluh kesahku yang lain setiap hari, ya!

 

Terima Kasih ~

Komentar

Posting Komentar

Yang disukai

Dia itu Siapa?

Sebelum pembaca memulai, saya ingin mengawali kisah ini bahwa semuanya adalah fiksi belaka. Jika anda berspekulasi saya menceritakan kisah seseorang, anda salah. Simpan saja pikiran itu sendiri! • Baru saja Dia menyelesaikan buku berjudul "Almond" yang sejak lama sudah menunggu di dalam  wishlist -nya. Penyebabnya tidak muluk-muluk, Dia merasa dirinya mirip dengan karakter yang ada di dalamnya. Dalam proses membaca ia perlahan-lahan membayangkan apa maksud dari kata-perkata buku tersebut. Sedang pikirannya ikut mengiyakan apa yang dirinya anggap sama.  Tidak hanya satu-dua kejadian yang Dia akui mirip. Memang, dalam buku tersebut menceritakan manusia tanpa emosi yang seringkali dianggap aneh. Sampai akhirnya manusia tadi harus belajar dan berlatih hanya untuk mengungkapkan dan memahami emosi.  Dia berpikir bahwa apa yang ada di dalam buku itu adalah dirinya. Sangat jarang Dia terlihat menangis di depan orang lain. Alasannya mudah saja, ia tidak paham mengapa orang-orang berpi

KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN: SEBUAH TAMPARAN

” Atau, di sini, wartawan dan media, memang pantang menyesali dan meminta maaf untuk pemberitaan mereka yang keliru...” Judul                       : Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Penulis                     : Rusdi Mathari Penyunting              : Wisnu Prasetya Utomo Perancang Sampul    : Ayos Purwoaji Penerbit                   : Buku Mojok Cetakan                   : Pertama Tahun                      : Juli 2018 Harga                     : Rp78.000,00 ISBN                       : 978-602-1318-64-5   Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan  adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan oleh  Rusdi Mathari  dari sejak tahun 2007-an sampai 2016-an. Tulisan ini sebenarnya telah diterbitkan dalam media sosial Rusdi seperti Facebook dan situs blog. Tidak seperti tulisan kebanyakan yang menyajikan peristiwa atau data dalam bahasa membosankan dan kaku, Rusdi memaparkannya dalam bahasa yang sederhana, sesekali dirinya bertanya pada pembaca. Secara terang-terangan, dari jud